Merekonstruksi Bentuk Pemberdayaan Masyarakat ala BPN
Oleh Arsan Nurrokhman*
Pendahuluan
Konsep pemberdayaan merupakan konsep yang populer dalam konteks pembangunan akhir-akhir ini. Jika sebelumnya hanya dikenal di kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergelut di masyarakat marginal, kini konsep itu telah populer di semua kalangan. Mulai dari ilmuwan di perguruan tinggi, aparat birokrasi, hingga kalangan swasta yang menjalankankan corporate social responsibility (CSR).
Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (dalam hal ini UNDP) telah mengadopsinya sebagai bentuk pendekatan yang seharusnya digunakan oleh para pelaku pembangunan. Dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang setiap tahun dikeluarkannya, organisasi ini menyatakan bahwa “pembangunan seharusnya dianyam oleh rakyat bukan sebaliknya menjadi penonton pembangunan dan seharusnya pula pembangunan memperkuat rakyat bukan justru membuat rakyat semakin lemah”
Pemberdayaan telah dianggap sebagai konsep kunci untuk menanggulangi kegagalan pembangunan yang terjadi di banyak negara. Kegagalan pembangunan —yang terwujud dengan malah meningkatnya angka kemiskinan, tingginya kesenjangan sosial, dan tidak meningkatnya parameter-parameter kesejahteraan lainnya— membuat para penentu kebijakan harus mengubah paradigma pembangunan yang sebelumnya mereka anut. Jika tadinya mereka hanya menempatkan rakyat sebagai obyek, maka kini mereka harus memandangnya sebagai subyek yang hidup, bahkan sebagai pelaku utama.
Pemerintah Republik Indonesia rupanya mulai menyadari pentingnya paradigma pemberdayaan, termasuk dalam menangani masalah pertanahan. Terbukti dalam Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dengan jelas disebutkan bahwa salah satu fungsi BPN, di antara 21 fungsi lainnya, adalah fungsi pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya, pembentukan Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat, serta struktur di bawahnya yang khusus menangani pemberdayaan (Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan), semakin menegaskan adanya kesadaran tersebut.
Akan tetapi, kesadaran itu belum diikuti oleh konsep dan rencana kerja yang jelas. Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Pengendalian sebagai dokumen otentik yang mestinya menggambarkan konsep pemberdayaan masyarakat itu, ternyata masih sebatas dokumen rencana-rencana kegiatan administratif saja. Belum tergambar di sana, visi atau ‘pikiran-pikiran’ besar BPN dalam memberdayakan masyarakat. Konsep penyelesaian masalah, analisa kondisi dan pendekatan yang semestinya ada dalam sebuah Renstra ternyata belum terbaca dengan gamblang.
Makalah ini berusaha memberikan sumbangsih pemikiran dari kajian terhadap literatur-literatur tentang pemberdayaan yang sebagian besar didapatkan dari internet. Meski jumlah literatur yang dikaji terhitung sedikit, mudah-mudahan substansi yang ada di makalah ini bisa menjadi bahan untuk menyusun rencana strategis, rencana kerja dan praktek pemberdayaan masyarakat di BPN. Sebab, kesadaran akan pemberdayaan sungguh hanya akan berarti jika konsep pemberdayaan itu benar-benar dipahami dan sesuai dengan konteks BPN, tercermin dalam rencana dan kebijakannya, serta terbukti dalam implementasi kerjanya.
Memaknai Pemberdayaan
Ada banyak kalangan yang mendefinisikan pemberdayaan dengan berbagai sudut pandang. Meskipun banyak sudut pandang, tetapi ada benang merah yang jelas menghubungkan berbagai definisi yang ada. Berikut ini adalah beberapa definisi pilihan tentang makna pemberdayaan tersebut.
Rappapor (1987) mendefinisikan pemberdayaan sebagai sebuah proses/mekanisme di mana sekelompok orang, organisasi atau masyarakat memiliki penguasaan atas masalah yang dialami). Hampir sama dengan Rappapor, Empowerment Team, Poverty Reduction and Economic Management (PREM) Group, World Bank, mendefinisikan pemberdayaan sebagai proses peningkatan kapasitas seseorang atau kelompok dalam menentukan pilihan guna melakukan suatu aksi atau output yang diinginkan.
Sedangkan menurut Cornell Empowerment Group, pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses yang sedang dan terus berlangsung secara sengaja dan berpusat pada masyarakat lokal yang berpikiran kritis, memiliki prinsip saling menghormati, kepedulian terhadap sesama dan partisipasi kelompok, yang mana melalui proses ini mereka yang tidak memiliki akses akan keadilan alokasi sumber daya, menjadi memiliki akses dan kendali akan sumber daya tersebut.
Dari beberapa definisi tersebut, mulai tergambar benang merah makna pemberdayaan. Benang merah itu dapat dirumuskan dalam beberapa kata atau kalimat kunci sebagai berikut:
- Peningkatan kapasitas
- Proses yang disengaja
- Penguasaan terhadap masalah yang dihadapi
- Penentuan pilihan untuk melakukan aksi
- Berpusat pada masyarakat lokal yang berpikiran kritis
- Masyarakat yang peduli
- Adanya partisipasi
- Kepemilikan akses
- Kendali terhadap sumberdaya.
Ruth Alsop dan Andrew Norton (2004) mengklasifikasikan dengan baik bagaimana berbagai aspek pemberdayaan tersebut saling berkait. Menurutnya, pemberdayaan merupakan kombinasi antara dua faktor yang saling terkait yakni agency dan struktur peluang.
Agency yang dimaksud adalah kemampuan seseorang dalam menentukan pilihan yang berarti baginya. Sedangkan struktur peluang adalah berbagai aspek yang membuat seseorang dapat berbuat sesuatu karena kemampuannya untuk memilih. Agency bisa dikatakan sebagai faktor dalam atau internal yang dimiliki oleh pelaku, baik individu atau kelompok dalam masyarakat. Sedangkan struktur peluang adalah faktor luar yang diciptakan oleh fasilitator, baik swasta maupun pemerintah. Peluang itu bisa berupa dukungan regulasi, akses modal, akses distribusi dan akses pasar.
Berdasarkan konsep pemberdayaan tersebut, maka kerja-kerja pemberdayaan ada di dua domain utama, yaitu peningkatan kapasitas/agency dan penciptaan peluang/akses. Secara sederhana, hubungan antara beberapa aspek pemberdayaan itu bisa digambarkan sebagai berikut.
Pemberdayaan masyarakat dalam gambar tersebut, berdiri di atas dua kaki, yaitu kapasitas dan akses. Peningkatan kapasitas dilakukan dengan kegiatan pendidikan masyarakat, sedangkan penciptaan akses dilakukan dengan melakukan fasilitasi dan advokasi.
Dengan memahami pemberdayaan seperti di atas, maka siapa saja yang hendak melakukan kegiatan pemberdayaan bisa memilih dan fokus di dua domain itu. Ia bisa memilih untuk terjun langsung mendidik, menyadarkan dan membina masyarakat; atau secara tidak langsung dengan memberi peluang, memberi akses terhadap sumberdaya-sumberdaya potensial dan membuat kebijakan yang memihak mereka.
Penyadaran Hak dan Perlawanan Struktural
Sebelum sampai pada pembahasan: di domain mana semestinya BPN berperan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, perlu dipahami juga bahwa pemberdayaan sangat berkaitan dengan pendidikan kritis agar masyarakat sadar akan hak-haknya. Dan pada gilirannya nanti, bisa sampai menuntut (bahkan melawan) struktur pemerintahan yang tidak memenuhi hak-hak mereka. Karena itu, jika BPN siap memberdayakan masyarakat, maka berarti BPN juga siap untuk dituntut atau dilawan oleh masyarakat.
Masih menurut Ruth Alsop and Andrew Norton (2004), pendekatan pembangunan dan upaya mengurangi kemiskinan melalui pemberdayaan sangat berhubungan dengan apa yang disebut sebagai pendekatan pembangunan berbasis hak atau rights-based approach yang kerap disingkat sebagai RBA. Konsep RBA didasari oleh pemikiran bahwa setiap orang memiliki berbagai hak yang mendasar yang mana setiap negara wajib untuk memajukan, meningkatkan dan melindungi hak-hak warga negaranya. Adapun hak, secara umum, dapat diartikan sebagai tuntutan yang sah (legitimate) terhadap sejumlah orang, kelompok atau organisasi seperti institusi sosial atau ekonomi, sebuah negara atau suatu komunitas internasional. Mereka wajib memenuhi tuntutan para pemegang hak.
Pemberdayaan dengan demikian berarti pula sebagai kegiatan menuntut pemerintah agar memenuhi hak-hak warganya (termasuk di dalamnya hak hidup layak dan hak atas tanah). Sehingga bisa dipahami jika sebuah LSM menuliskan dalam situs webnya bahwa “inti pemberdayaan ialah membebaskan rakyat atau komunitas dari penindasan struktural seperti penindasan kelas, gender, ras atau etnis, bahasa, pendidikan, dan yang mungkin dilakukan oleh elite komunitas. Dengan demikian, kegiatan ini merupakan perubahan radikal yang ingin mengganti struktur penindasan yang mapan”.
Keberhasilan pemberdayaan dengan pemahaman seperti itu berarti bahwa institusi atau elemen struktural yang melakukan kegiatan pemberdayaan bisa mendapatkan efek balik dari masyarakat berupa tuntutan untuk memenuhi hak-hak mereka. Efek ini tentu harus benar-benar diantisipasi dengan kinerja yang baik oleh elemen struktural yang bersangkutan. Jika tidak, maka kegiatan pemberdayaan itu akan sia-sia belaka.
Bentuk Pemberdayaan Masyarakat a la BPN
Kajian literatur terhadap makna pemberdayaan di muka, meskipun tidak banyak, rasanya sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana mestinya format pemberdayaan direkonstruksi. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan yang bisa dijadikan landasan untuk merekonstruksi format BPN.
Pertama, BPN harus fokus di ‘kaki’ mana dalam melakukan kegiatan pemberdayaan. Meskipun BPN adalah institusi pemerintah, tetapi sebagai lembaga ia juga memiliki keterbatasan kewenangan, SDM dan sarana. Pemaksaan diri untuk berperan di dua kaki sekaligus (peningkatan kapasitas dan pembuatan akses) hanya akan potensial membuat terjadinya inefisiensi.
Fokus peran atau positioning BPN yang paling tepat nampaknya adalah di kaki pembuatan akses/peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya. Sebab, BPN adalah institusi pemerintah yang memiliki kewenangan yang tidak dimiliki oleh masyarakat secara umum. Sedangkan peningkatan kapasitas melalui pendidikan nampaknya akan lebih efektif jika lembaga swadaya masyarakat yang melakukannya.
Fokus BPN tersebut bukan berarti meninggalkan aktivitas pendidikan sama sekali. BPN tetap harus memberikan peran dalam kegiatan pendidikan meski tidak secara langsung terjun ke masyarakat. Kegiatan itu bisa berupa penyediaan informasi yanng terbuka dan memadai kepada masyarakat tentang masalah pertanahan.
Kedua, BPN harus bermitra dengan lembaga-lembaga lainnya, baik dengan kalangan swasta, lembaga swadaya masyarakat dan instansi pemerintah yang lain. BPN bukan pemain tunggal dalam kegiatan pemberdayaan, kerena itu menjadi niscaya kalau BPN harus bermitra dengan lembaga lainnya.
Kemitraan BPN dengan berbagai lembaga itu harus memiliki pola yang jelas untuk menjadikan kemiskinan sebagai musuh bersama. Kemiskinan sebagai masalah yang kompleks harus diperangi dengan pendekatan yang holistik, komprehensif dan gerak yang sinergis. Karena itu, ukuran sukses BPN dalam hal ini adalah sejauh mana BPN berkontribusi mengurangi angka kemiskinan.
Pendekatan yang holistik dan komperehensif tersebut membuat kegiatan pemberdayaan BPN tidak hanya berhenti dalam kegiatan sertifikasi tanah saja, tetapi juga bagaimana follow up dari kegiatan sertikasi itu dilakukan. Misalnya, setelah sertifikasi tanah dilakukan BPN juga harus mengontrol bagaimana tanah itu dikelola oleh pemiliknya. Jika kemudian tanah itu malah dijadikan agunan untuk kepentingan konsumtif atau malah dijual karena sudah bersertifikat, maka boleh dikatakan bahwa proses pemberdayaan tidak berhasil. BPN harus mengontrol agar tanah itu benar-benar dijadikan sebagai aset masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya dan lepas dari jeratan kemiskinan. Cara melakukan kontrol itu tidak harus dilakukan sendiri oleh BPN, tetapi bisa oleh mitra kerjasama BPN.
Ketiga, sebagai konsekuensi lanjutan dari kemitraan BPN dengan lembaga lainnya tersebut, BPN pun harus bisa bergerak secara sinergis antara bagian satu dan bagian lainnya. Gerak sinergis itu harus dibangun secara internal di BPN. Jangan sampai masalah pemberdayaan masyarakat hanya menjadi masalah Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat saja, apalagi hanya menjadi masalah Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan. Pemberdayaan masyarakat harus menjadi masalah semua bagian di BPN.
Kemitraan BPN dengan berbagai lembaga itu harus memiliki pola yang jelas untuk menjadikan kemiskinan sebagai musuh bersama. Kemiskinan sebagai masalah yang kompleks harus diperangi dengan pendekatan yang holistik, komprehensif dan gerak yang sinergis. Karena itu, ukuran sukses BPN dalam hal ini adalah sejauh mana BPN berkontribusi mengurangi angka kemiskinan.
Pendekatan yang holistik dan komperehensif tersebut membuat kegiatan pemberdayaan BPN tidak hanya berhenti dalam kegiatan sertifikasi tanah saja, tetapi juga bagaimana follow up dari kegiatan sertikasi itu dilakukan. Misalnya, setelah sertifikasi tanah dilakukan BPN juga harus mengontrol bagaimana tanah itu dikelola oleh pemiliknya. Jika kemudian tanah itu malah dijadikan agunan untuk kepentingan konsumtif atau malah dijual karena sudah bersertifikat, maka boleh dikatakan bahwa proses pemberdayaan tidak berhasil. BPN harus mengontrol agar tanah itu benar-benar dijadikan sebagai aset masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya dan lepas dari jeratan kemiskinan. Cara melakukan kontrol itu tidak harus dilakukan sendiri oleh BPN, tetapi bisa oleh mitra kerjasama BPN.
Ketiga, sebagai konsekuensi lanjutan dari kemitraan BPN dengan lembaga lainnya tersebut, BPN pun harus bisa bergerak secara sinergis antara bagian satu dan bagian lainnya. Gerak sinergis itu harus dibangun secara internal di BPN. Jangan sampai masalah pemberdayaan masyarakat hanya menjadi masalah Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat saja, apalagi hanya menjadi masalah Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan. Pemberdayaan masyarakat harus menjadi masalah semua bagian di BPN.
Jika deputi atau bagian yang lain di BPN tidak bisa bermitra atau bekerja sama dengan baik, mungkin Direktorat Permberdayaan dan Kelembagaan harus menjadikannya sebagai ‘musuh bersama’ dengan masyarakat. Dalam posisi ini, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan harus menjadi advokat bagi masyarakat yang hak-haknya tidak dipenuhi atau dipersulit oleh bagian lain di BPN.
Keempat, BPN harus membuka diri terhadap partisipasi publik seluas-luasnya. BPN harus memberikan ruang-ruang, momentum-momentum dan sarana bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menangani masalah pertanahan. BPN tidak boleh merasa lebih pintar dan tidak boleh sewenang-wenang. Karena pada hakekatnya BPN hanya menjalankan amanat yang diberikan rakyat.
Kelima, BPN harus berinisiatif dan selalu progresif dalam melaksanakan amanatnya. BPN tidak boleh hanya menunggu. Memberikan kepastian hukum –yang salahsatunya dilakukan dengan menerbitkan sertifikat tanah– harus dipahami sebagai kewajiban pemerintah dan hak bagi rakyat. Tanpa diminta mestinya pemerintah terus bekerja untuk memenuhi hak-hak rakyatnya. Apalagi jika rakyat sudah memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka tidak ada alasan lain bagi pemerintah untuk mengelak.
Terkait dengan kewajibannya terhadap tanah, sebenarnya masyarakat sudah lebih banyak memenuhi kewajibannya dengan membayar pajak bumi dan bangunan. Menurut data di tahun 2000, ada 75 juta lebih persil obyek pajak yang tercatat. Sementara pada saat yang sama, tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan hanya sekitar 22,5 juta persil saja. Selisih ini punya arti bahwa banyak tanah yang belum punya dokumen hukum yang jelas, tetapi tetap ditarik pajak. Pemerintah seolah mau enaknya saja: membenarkan pendapatannya berasal dari sektor informal dan tidak mau memberikan kepastian hukum bagi rakyatnya.
Akhirnya, lima hal itu penting untuk dijadikan bahan merekonstruksi format pemberdayaan di BPN. Format teknis kegiatan bisa dibentuk dengan kerangka kelima hal itu dan menyesuaikan dengan kondisi daerah. Beberapa format teknis yang telah ada selama ini bisa terus dikembangkan. Dan sepertinya, prinsip manajemen Kaizen harus terus diingat: ”tidak ada sistem yang terbaik, yang ada adalah sistem yang lebih baik...”
***
Penulis adalah Alumnus Fakultas Geografi UGM, kini menjadi Staf di Kantor Pertanahan Kabupaten Mukomuko, Bengkulu. Tulisan ini sebelumnya merupakan makalah untuk orientasi kerja di Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Publikasi dalam blog ini menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pendapat institusi manapun.